Kamis, 12 Februari 2009

Teori Malthus dan Kultur Jaringan

Robert Malthus, dengan teorinya yang terkenal Theori Malthus, mengatakan bahwa penduduk berkembang menurut deret ukur sedangkan pangan berkembang menurut deret hitung. Dengan teori ini, dapat diperhitungkan bahwa suatu saat manusia di bumi akan mengalami kekurangan pangan. Namun, ditemukannya kultur jaringan, boleh jadi teori itu dapat ditanggalkan. Kultur jaringan memungkinkan para petani untuk memperoleh bibit unggul dan menggandakannya dalam jumlah tak terbatas dalam waktu yang relatif singkat. Bibit, terutama tanaman pangan, boleh dikatakan unggul apabila memenuhi minimal empat kriteria pokok: buahnya enak, produksinya tinggi, pohon segera berbuah dalam waktu yang relatif singkat, toleran terhadap cuaca, hama dan penyakit. Dengan demikian, usaha pertanian modern dalam pengadaan bibit difokuskan kepada keempat hal tersebut.

Kultur jaringan sendiri berangkat dari teori Totipotensi. Teori ini berasumsi bahwa setiap zarrah sel tanaman merupakan satu individu mandiri yang dapat berkembang menjadi satu tanaman utuh. Dalam keseharian kita mengenal tanaman Cocor Bebek. Jika Anda mencabik-cabik daun cocor bebek, maka setiap cabikan akan tumbuh menjadi satu individu tanaman. Maka, demikian pula tanaman-tanaman lainnya. Yang membedakan hanyalah bahwa tanaman cocor bebek memiliki derajat kemampuan tumbuh (viabilitas) yang sangat tinggi. Tanaman lain tidak demikian. Mereka harus diperlakukan sedemikian rupa, dirangsang dengan zat tumbuh (growth regulator) dan perlakuan laboratoris lainnya agar dapat tumbuh menjadi individu.

Berita gembiranya adalah apabila sebuah bibit unggul, daunnya atau organ tanaman lainnya direncah kecil-kecil, kemudian dibiakkan dalam laboratorium, maka akan dihasilkan tanaman yang memiliki sifat seragam. Unggulnya sama persis seperti kembar identik. Akan tetapi berita sedihnya adalah peralatan, harga bahan-bahan kimia yang diperlukan masih sangat mahal dan masih harus diimpor dari luar negeri. Di samping itu, SDM yang menangani bidang ini masih sangat sedikit. Untuk itu perlu pelatihan yang intensif dari paling tidak setiap Kabupaten memiliki ahli in-vitro yang handal. Dengan demikian, swasembada pangan dan bahkan bila perlu menjadi pengekspor pangan bukan lagi sekedar janji politik.

1 komentar:

Dr.Endang Gati. M.Si mengatakan...

Saya dari Papua. Sangat berharap kiranya adanya pelatihan SDM di bidang pertanian modern di Papua. Dengan demikian,masyarakat Papua akan segera merasakan lompatan ke depan dengan adanya pelatihan ini. Mohon informasi bagaimana cara mengikuti pelatihan in-vitro. Salam sejahtera. Robert Mbeki